Rabu, 02 Februari 2011

Syarat - Syarat Haji

Syarat wajib haji adalah sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia diwajibkan untuk melaksanakan haji, dan barang siapa yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut, maka dia belum wajib menunaikan haji. Syarat-syarat tersebut ada lima perkara:
  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka
  5. Mampu
Ibnu Qudamah (dalam Al-Mughni 3/218 adn Nihayah Al-Muhtaj 2/375) berkata: “Kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat mengenai lima perkara tersebut“.
Islam” dan “Berakal” adalah dua syarat sahnya Haji, karena haji tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir atau orang gila.
Baligh” dan “Merdeka” merupakan syarat yang dapat mencukupi pelaksanaan kewajiban tersebut, tetapi keduanya tidak termasuk syarat sahnya haji. Karena apabila anak kecil dan seorang budak melaksanakan haji, maka haji keduanya tetap sah sesuai dengan hadits dari seorang wanita yang -pada saat melaksanakan haji bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam- mengangkat anak kecilnya kehadapan Nabi dan berkata: “Apakah ia mendapatkan (pahala) haji ?” beliau shallallahu alayhi wasalam menjawab: “Ya, dan kamu pun mendapatkan pahala“(Shahih HR Muslim 1336, Abu Dawud 1736, dan an-Nasa’i 5/120).
Akan tetapi haji yang dilakukan oleh anak kecil dan budak tidak menggugurkan kewajiban hajinya sebagai seorang Muslim, menurut pendapat yang lebih kuat, berdasarkan hadits:
Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji, kemudian ia dimerdekakan, maka ia berkewajiban untuk melaksanakan haji lagi, barang siapa yang melaksanakan haji pada usia anak-anak, kemudian mencapai usia baligh, maka ia wajib melaksanakan haji lagi“(Dishahihkan oleh Al-Albani HR Ibnu Khuzaimah 3050, Al-Hakim 1/481, Al-Baihaqi 5/179 dan lihat Al-Irwa’ 4/59).
Adapun “Mampu” hanya merupakan syarat wajib haji. Apabila seorang yang “tidak mampu” berusaha keras dan menghadapi berbagai kesulitan hingga dapat menunaikan haji, maka hajinya dianggap sah dan mencukupi. Hal ini seperti shalat dan puasa yang dilakukan oleh orang yang kewajiban tersebut telah gugur darinya. Maka shalat dan puasanya tetap sah dan mencukupi. (Al-Mughni 3/214).

APAKAH YANG DIMAKSUD “MAMPU

Kemampuan” yang menjadi syarat wajib haji hanya akan terwujud dengan hal-hal berikut:
1. Kondisi badan yang sehat dan bebas dari berbagai penyakit yang dapat menghalanginya dalam melaksanakan berbagai macam ritual dalam haji. Sesuai hadits Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita dari Khats’am berkata: “Wahai Rasulullah, bapak ku memiliki kewajiban haji pada saat dia sudah sangat tua dan tidak dapt menanggung beban perjalanan haji, apakah aku bisa menghajikannya ?” beliau shallallahu alayhi wasalam menjawab: “Tunaikanlah haji untuknya (menggantikannya)“(Shahih HR Bukhari 1855 dan Muslim 1334).
Barangsiapa telah memenuhi seluruh syarat haji, tetapi dia menderita penyakit kronis atau lumpuh, maka dia tidak wajib melaksanakan haji, sesuai kesepakatan ulama.
hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai perwakilannya kepada orang lain, apakah wajib atau tidak ?.
Madzhab Syafi’i, Hanbali dan dua orang pengikut madzhab Hanafi berpendapat wajib, atas dasar bahwa kesehatan badan merupakan syarat untuk menunaikan haji dan bukan syarat wajib haji. Dan inilah pendapat yang terkuat berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu alayhi wasalam bersabda: “Bagaimana jika ayahmu memiliki tanggungan utang, apakah kamu akan melunasinya ?” Wanita itu menjawab “Ya” beliau shallallahu alayhi wasalam lalu bersabda “Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi” (HR Bukhari 5699, An-Nasa’i 5/116).
Adapun Imam Abu Hanifah danImam Malik berpendapat tidak wajib mewakilkannya kepada orang lain. (Nihayah Al-Muhtaj 2/385, Al-Kafi 1/214 dan fath al-Qadir 2/125).
2. Memiliki perbekalan yang cukup dalam perjalana, masa mukim (menginap) dan saat kembali kepada keluarganya, diluar kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti tanggungan utang dan nafkah untuk keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Ini menurut pendapat Jumhur Ulama (Al-Majmu’ 7/56) -selain madzhab Maliki-, karena nafkah merupakan hak manusia dan harus diutamakan, sesuai sabda Rasulullah shallallahu alayhi wasalam:
Cukuplah seseorang (dianggap) berdosa dengan menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya“(Shahih HR Abu Dawud 1676 dan Al-Irwa’ 989).
3. Amannya perjalanan. Ini meliputi aman bagi jiwa dan harta pada saat orang-orang ramai keluar menunaikan haji, karena kategori “mampu” tidak dapat terlepas dari kondisi ini.

KEBERADAAN SEORANG MUHRIM MERUPAKAN SYARAT WAJIB HAJI BAGI PEREMPUAN.

Wanita diwajibkan menunaikan haji apabila telah memenuhi lima syarat yang telah dijelaskan kemudian disyaratkan pula agar ditemani oleh suami atau muhrim. Apabila tidak ada muhrim maka dia belum diwajibkan haji.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiallahuanhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu alayhi wasalam bersabda: “Hendaknya seorang laki-laki tidak berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali bersama muhrimnya, dan hendaknya seorang wanita tidak berpergian kecuali bersama muhrimnya.” Kemudian seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, istriku hendak pergi haji untuk melaksanakan haji dan aku mendapat bagian untuk ikut perang ini dan ini” Maka beliau shallallahu alayhi wasalam bersabda “Pergilah, laksanakan haji bersama istrimu“(Al-Mughni 3/230, Bidayah Al-Mujtahid 1/348 dan Al-Majmu’ 7/68). Ini adalah pendpat madzhab Hanafi dan Hanbali.
Adapun madzhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa keberadaan muhrim bukanlah syarat dalam haji, tetapi mereka mensyaratkan amannya perjalanan dan adanya teman yang amanah. Ketentuan ini berlaku dalam haji yang wajib. Adapun haji sunnah maka perempuan tidak boleh melaksanakannya kecuali bersama muhrimnya, sesuai kesepakatan para ulama.
Sementara madzhab Azh-Zhahiri berpendapat bahwa wanita yang tidak memiliki suami atau muhrim atau suaminya enggan menemani maka dia boleh menunaikan haji tanpa muhrim.
Mereka berdalil dengan riwayat yang menjelaskan penafsiran Nabi shallallahu alayhi wasalam bahwa yang dimasud dengan “mampu” adalah adanya perbekalan dan kendaraan, dan riwayat ini dha’if, sebagaimana yang telah disebutkan.
Juga dengan sabda beliau:”Hampir saja akan keluar sekelompok perempuan dari Hirah menuju Ka’bah tanpa ada yang menemaninya (tanpa muhrim), mereak tidak merasa takut melainkan hanya kepada Allah” (HR Bukhari 3595, kata Azha’inah berarti perempuan)
Hal ini dijawab bahwa riwayat tersebut merupakan pemberitahuan tentang keamanan yang akan terjadi, dan tidak berkaitan dengan hukum berpergian bagi perempuan tanpa muhrim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar