Selasa, 01 Februari 2011

Sejarah Sunan Geseng




Alkisah bahwa Bagus Gentong/Gento setelah ibunya yaitu Nyai Ageng Bagelen wafat, tetap bertempat tinggal di desa Bagelen, meneruskan bertani seperti leluhurnya. Setelah dewasa ia menikah dan memperroleh putra bernama RADEN DAMARMOYO.

Raden Damarmoyo mempunyai putri bernama RADEN RARA RENGGANIS, yang setelah dewasa menikah dengan KYAI PAKOTESAN dan mempunyai putra, PANGERAN SEMONO yang juga bernama PANGERAN MURYO.
Pangeran Muryo mempunyai putra bernama KYAI COKROJOYO I, yang kemudian terkenal dengan nama SUNAN GESENG.


Dari BAGUS GENTONG sampai pada cucu-buyutnya / cicit yang bernama PANGERAN SEMONO, tidak ada yang perlu diceritakan, tetapi tentang cucu-canggahnya yaitu KYAI COKROJOYO I banyak peristiwa-peristiwa hidup yang hingga kini dianggap memberi berkah dan selalu diperingati oleh ahli warisnya.

Pada masa hidup KYAI COKROJOYO I, agama Islam sedang berkembang di Pulau Jawa dan yang menjadi pemimpin Waliullah penyebar agama islam adalah SUNAN KALIJOGO, yang sering berkelana untuk menyiarkan agama Islam.

Pada suatu hari SUNAN KALIJOGO dalam perjalanan keliling sengaja singgah ditempat kediamann KYAI COKROJOYO I, karena beliau telah mengetahui bahwa KYAI COKROJOYO I adalah seorang calon Waliullah, yang ibarat kain batik sudah disurati (dibatik) namun belum dibabar (diolah selanjutnya dengan memberi warna dan menghilangkan malam / lilinnya dari atas kain).

Waktu SUNAN KALIJOGO tiba disitu, KYAI COKROJOYO I sedang mencetak gula aren sambil ”uro-uro” (menyanyi santai).
Bertanya SUNAN KALIJOGO : ” Berapa lakunya (hasil penjualan) jika sudah menjadi gula ?”
Di jawab olah KYAI COKROJOYO I : ” hanya cukup untuk menghidupi orang yang melarat”.
SUNAN KALIJOGO lantas berkata : ”Coba gantikanlah uran-uranmu dengan membaca Surat Kalimah Syahadat. Kemarilah aku ajarkan membacanya, dan nanti jika gulanya telah trcetak bawalah kemari, aku akan melihatnya.”

Setelah mengucapkan Surat Kalimah Syahadat KYAI COKROJOYO I meneruskan mencetak gula dan sesudah rampung menutupinya dengan tampi, diserahkan kapada SUNAN KALIJOGO. Betapa herannya KYAI COKROJOYO I, sewaktu SUNAN KALIJOGO membuka tutupnya, gulanya sudah berubah menjadi emas. Dengan tak sadar ia terpakau (jawa: deleg-deleg) seperti tugu hingga beberapa saat.

Waktu ia sadar kembali SUNAN KALIJOGO sudah tiada di tempat. Dengan terbirit-birit (jawa : guralawan) ia mengejarnya dan setelah berhasil menyusulnya ia menyungkemi (menyembah) lutut SUNAN KALIJOGO, sambil mohon agar diperkenankan menjadi muridnya . Dijawab olehnya SUNAN KALIJOGO : ” Anakku (jawa:jebeng) jika kau dengan sungguh-sungguh ingin menjadi muridnya, maka kau harus bertapa-sujud di tempat ini dan jangan pergi dari sini sebelum aku kembali kemari.”
Setelah bersabda demikian SUNAN KALIJOGO meneruskan perjalannya dan dalam sekejap mata telah sirna dari pandangan.

Mengingat peristiwa yang telah terjadi KYAI COKROJOYO I masih terheran-heran, tetapi akhirnya bergegas untuk melaksanakan perintah SANG GURU AGUNG dengan tekad yang teguh dan mantap untuk tidak mengakhiri tapanya sebelum gurunya datang kembali. Demikianlah KYAI COKROJOYO I bertapa hinga satu tahun lebih tanpa henti.

Sementara itu SUNAN KALIJOGO memang sudah lipa akan perintahnya pada KYAI COKROJOYO I, dan baru sewaktu beliau dalam penjelajahnya seperti biasanya, lewat desa Bagelen beliau ingat akan perintahnya pada calon muridnya yang bertapa sujud. Para pengikutnya diperintahkan untuk mencarinya, tetapi karrena di tempat itu sudah penuh dengan alang-alang serta tumbuh-tumbuhan liar lainya setinggi orang, maka tak berhasilah mereka menemukan KYAI COKROJOYO I.

Kemudian SANG GURU memerintahkan untuk membabat seluruh tumbuh-tumbuhan yang menutupi tempat itu, namun juga belum berhasil untuk menemukan tubuh sang pertapa itu. Akhirnya tak ada jalan lain kecuali membakar saja alang-alang dan tumbuh-tumbuhan yang telah dibabat itu, dan walaupun dedaunan dan dahan-dahan itu masih basah, namun berkat sabda SANG GURU AGUNG, maka apinya menyala-nyala setinggi langit seperti kebakaran hutan besar, sehingga membuat penduduk disekitarnya menjadi cemas dan ketakutan.

Setelah api reda dan segala ”rerungkutan” )tumbuh-tumbuhan lebat) telah hilang, maka terlihatlah dengan jelas tubuh KYAI COKROJOYO I yang masih dalam posisi sujud tetapi hitam hangus karena terbakar. Kelihatannya seperti tak bernyawa, namun denyut jantungnya masih ada walaupun sangat lemah.
SUNAN KALIJOGO mendekatinya dan bersabda : ”Hai COKROJOYO, bangunlah, jangan enak-enak tidur, aku datang”.
Mendengar suara SANG GURU, seketika KYAI COKROJOYO I bangun dan begitu melihat gurunya langsung bersungkem kepadanya. Dan pada saat itulah KYAI COKROJOYO I mendapat ”wisik manunggalnya kawulo dengan gusti”, yang berarti telah mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Tidak diceritakan bagaimana isi serta perincian situasi tersebut, setelah menerima berkah Sang Waliullah KYAI COKROJOYO I seketika merasa terang hatinya, seperti mendung yang dihempas oleh angin, tembung cahaya seolah-olah seperti lembing dapat melesat ke atas di ruang angkasa (jawa : kadyo mendung ingkang kabuncang ing samirono, narawang lir pendah saged muluk ing ngawiyat).

Selesai memberi wejangan kepada KYAI COKROJOYO I, SUNAN KALIJOGO meneruskan perintahnya : ”Atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa, kamu sekarang telah ”tinarbuko’(terbuka), dapat Wahyu Wali dan karena badanmu hangus (jawa: geseng), maka memakailah nama SUNAN GESENG, dan mulailah bermukim (jawa: tetruko) di hutan Loano, yang nantinya akan menjadi desa yang ramai dan akan menjadi tempat tinggalnya para keturunan Raja.

Dalam pengembaraannya SUNAN GESENG menyebarkan agama islam di desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal SUNAN GESENG dengan sebutan KI AGENG GRIBIG. Julukan itu berangkat dari pilihan SUNAN GESENG untuk tinggal di rumah beratap gribig-anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika KI AGENG GRIBIG pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian. KI AGENG GRIBIG meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir : Ya-Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Mereka kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda KI AGENG GRIBIG itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau di total, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jum’at. Dari menara masjid, kue apem disebarkan santri sambil berzikir, Ya Qowiyyu... Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu dengan sebutan apem ”Jokowiyu”.

Diceritakan bahwa 40 tahun kemudian, yang bertahta di kerajaan Mataram adalah KANGJENG SINUWUN ANYOKROWATI (1612-1621 M). Istri prameswarinya adalah KANGJENG RATU MAS HADI, putri dari PANGERAN ADIPATI BENOWO di Pajang. PANGERAN ADIPATI BENOWO ini adalah putra dari KANGJENG SINUWUN HADIWIJOYO (JOKO TINGKIR).

KANGJENG SINUWUN ANYOKROWATI tersebut mempunyai kakak laki-laki bernama PANGERAN WIROMENGGOLO, yang ingin sekali menjadi raja. Keinginannya itu adalah sedemikian besar, hingga ia bertapa siang dan malam dan berguru ilmu pad SUNAN GESENG dalam bidang kesempurnaan hidup, yang tempat pemejangannya di tegal BENGKUNG. Karena bertapanya sangat berlebih-lebihan tanpa mengingat kemampuannya, maka PANGERAN WIROMENGGOLO akhirnya menemui ajalnya. Diceritakan bahwa yitmanya (rokhnya) merasuk ke dalam ikan tombro bersisik kencana (ikan mas).

Adalah kebetulan bahwa pada saat itu Sang prameswari KANGJENG RATU MAS HADI sedang mengandung dan ngidam ingin makan tombro bersisik emas yang berkali-kali disampaikan kepada suaminya KANGJENG SINUWUN.
Dalam pada itu KANGJENG SINUWUN mendengar kabar bahwa SUNAN GESENG memiliki sebuah jala sutra dengan biji pemberat dari emas, yang khusus hanya untuk menjala ikan tombro. Oleh karenanya, Sang PRABU mengirim utusan untuk minta bantuan SUNAN GESENG menangkap ikan tombro bersisik kencana seperti yang diinginkan sang RATU.

Singkatnya cerita, keinginan sang RATU dapat terpenuhi dan dilahirkan bayi laki-laki yang diberi nama RADEN MAS JATMIKO, juga bernama RADEN MAS RANGSANG.
Setelah SINUWUN ANYOKROWATI wafat, maka kedudukannya digantikan oleh putranya RADEN MAS JATMIKO, dengan gelar KANGJENG SINUWUN SULTAN AGUNG ANYOKROKUSUMO, bertahta pada tahun 1621 sampai dengan tahun 1636.
Sang Prabu juga berguru ilmu kesempurnaan pada SUNAN GESENG, sampai pada tingkat penguasaan yang tinggi atas segala galanya (jawa : widagdo waskitho ing samudayanipun). Atas jasanya, SUNAN GESENG kemudian dianugerahi sebidang tanah jabatan (jawa : lenggah siti) dengan nama , KYAI AGENG JOLOSUTRO, yang membuat semakin tenar namanya hingga wafatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar