Selasa, 01 Februari 2011

Kisah Habib Alaydrus

Pendidikan Indonesia berada di persimpangan jalan. Setelah digulirkan Sekolah Bertaraf (bukan berstandar) Internasional oleh pemerintah pada sekitar 3 tahun yang lalu, SBI muncul bak jamur di musim hujan. Herannya, ibarat barang yang sedang tren, masyarakat pun menyerbu begitu saja, tanpa memperhitungkan nilai-nilai manfaat yang dibawanya. Begitu juga orang tua yang 'latah' menyekolahkan anak di SBI tanpa tahu apa arti SBI dan mau dibawa ke mana pendidikan anak-anak Indonesia?! Pemerintah pun seperti kerbau dicucuk hidungnya ketika Barat mengiming-imingi program SBI dengan jaminan 'kenaikan kelas' ranking pendidikan Indonesia di mata dunia. Walhasil, pemerintah latah, orang tua pun ikut-ikutan.
Adalah Habib Fahmi Alaydrus, S.Psi., M.Ed., Pembina Yayasan Nurul Fikri, yang berusaha tetap mengedepankan pendidikan berbasis nilai-nilai Islam di tengah persaingan di industri pendidikan yang berlabel 'internasional'. Ia yang pernah menjabat sebagai Ketua DPP PKS Bidang Pendidikan ini beranggapan, tak perlu label internasional, yang penting adalah pendidikan bermutu tinggi. Berikut ini adalah penuturannya kepada reporter eramuslim.com tentang carut-marut pendidikan di Indonesia.
Bagaimana Nurul Fikri menyeimbangkan pola pendidikan Islam dan nasional?
Nurul Fikri mencoba untuk membangun pendidikan itu dengan pondasi nilai-nilai Islam, artinya, kita berpegang teguh kepada apa yang diinginkan Islam dalam konteks pembangunan karakter manusia sesuai dengan visi misinya. Itu pondasi utamanya. Dengan berpijak pada pesan dan nilai-nilai Islam itu, kita mencoba mengemas pendidikan dalam konteks dan kerangka Indonesia karena kita berada di dalam negeri yang memiliki model atau falsafah pendidikan dengan segala perangkat dan peraturan perundang-undangannya. Kita nggak bisa keluar dari kerangka itu, tapi ruh dan jiwa kita berpijak pada nilai Islam. Ternyata, pondasi pendidikan Indonesia sangat berkesesuaian dengan nilai Islam. Cerdas dan takwa yang diinginkan oleh tujuan pendidikan nasional sangat akrab, lekat, dengan apa yang diinginkan oleh Islam.
Jika demikian, apa yang menjadi masalah?
Yang menjadi masalah adalah bagaimana mengelolanya?! Ini adalah problem utama kita. Kalau kita bicara pengelolaan, maka 'backbone'-nya, tulang punggungnya adalah guru. Guru menjadi pihak yang sangat sentral dalam mentransformasi muatan pendidikan dalam bentuk karakter anak didik kita. Nurul Fikri ingin menjadikan anak didik kita sebagai karakter leader (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa (waj'alna lil muttaqiina imaama). Misi yang sangat berat. Bagaimana kurikulum melekatkan karakter kepemimpinan satu per satu ke anak didik sehingga menjadi satu konfigurasi yang utuh kelak dia bisa menjadi seorang pemimpin, ini guru yang bertanggung jawab.Bagaimana guru secara praktek berkreasi, berbuat sehingga apa yang menjadi misi dari kurikulum itu benar terpatri dalam karakter. Di sini kita berbicara pola perilaku guru dalam mendidik anak. Kita memerlukan guru-guru yang memiliki panggilan jiwa, dia komitmen, cerdas, mampu berkreasi, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai sehingga apa yang diinginkan oleh kurikulum itu sampai.
Bagaimana Nurul Fikri mengambil peran dalam menghasilkan generasi yang luar biasa?
Saya pikir, NF itu muncul sebagai sebuah respon dari keprihatinan terhadap model atau pola pendidikan yang waktu itu sangat merisaukan terutama di komunitas muslim. Pola pendidikan pada waktu itu hanya tampil dalam bentuk formalistik, di kelas, model pembelajaran yang monoton, yang tidak kaya, bahan pelajaran sederhana sehingga menyebabkan kita menjadi pesimis. Anak didik kita yang kita harapkan menjadi kader, pemimpin, kalau didekati dengan cara-cara seperti ini mereka akan jadi apa?! Kalau kita mengajar anak-anak kita yang sebenarnya memiliki potensi besar lalu kita dekati dengan cara biasa saja maka kita telah melakukan proses pengabaian (abuse). Pengabaian ini sangat berdosa, kita menelantarkan, memubazirkan potensi positif, potensi besar yang disediakan oleh Allah. Anak-anak itu menjadi anak-anak yang biasa-biasa saja. Kata Einstein, bagaimana mungkin kita ingin menghasilkan sesuatu yang luar biasa dengan cara-cara yang biasa-biasa saja?! NF ingin mencoba membuat model pendidikan yang bernilai Islam. Implikasi dari itu, lahirlah institusi pendidikan. Kita bicara faktor guru, faktor pendekatan pembelajaran, termasuk juga pengembangan kurikulum dan fasilitas. Itu yang coba dikemas.
Lalu, bagaimana tanggapan Anda mengenai SBI?
Sesungguhnya, sekolah berstandar internasional adalah upaya Indonesia untuk mencoba mendekatkan diri agar tidak terlalu jauh dari sekolah bermutu di dunia. Kalau tidak begitu, akan ketinggalan, intinya adalah standardisasi pengelolaan. Di dunia internasional itu, sekolah bermutu punya standar tinggi. Menurut saya, SBI itu satu inovasi, sah-sah saja, asal pondasinya kuat, tentunya harus nilai-nilai Islam dan pondasi keindonesiaan.
Apakah Nurul Fikri juga menjadi SBI ke depannya?
Sebenarnya, kami tidak terlalu peduli dengan nama. Tidak perlu repot-repot men-declare internasional. Kami berpikir substantif. Kami terus melakukan perbaikan-perbaikan agar sekolah kami ini berstandar mutu tinggi. Apakah internasional atau nasional? Terserahlah, pokoknya kita punya standar agar excellencies itu tercapai.Dalam konteks Sekolah Islam Terpadu (SIT), pemikiran Profesor Daud Tauhidi, pemikir, penggagas, “penjajah” yang menyebarkan sekolah Islam terpadu dengan pendekatan standar internasional. Masalah bahasa, kita mencoba menggunakan sedapat mungkin bahasa Inggris, bahasa Arab, yang tidak kita gunakan adalah kurikulum internasional. Masalah standar pengelolaan, di dalamnya juga terdapat standar pembelajaran. Kita dapat bukti bahwa sekolah bermutu tingkat dunia telah berhasil melekatkan karakter tertentu yang mereka inginkan melalui pola pendekatan tertentu. Itu yang kita adopsi. Tapi kita tidak akan pernah merujuk nilai-nilai yang bukan nilai-nilai Islam.
Bagaimana harusnya orang tua menyikapi adanya SBI ini?
Memang tidak bisa kita pungkiri, sebahagian masyarakat kita, apakah itu orang tua atau bahkan pemerintah sendiri seringkali suka latah-latahan. Artinya, tanpa banyak melihat konteks, melihat apa yang kita benahi, melihat tren tertentu, ikut. Indonesia termasuk pasar yang kondusif untuk dilempar produk-produk yang sedang tren di dunia. Barangkali yang perlu kita pahami sebenarnya adalah substansi pendidikan itu sendiri. Masyarakat dan orang tua juga harus mengerti bahwa inti dari pendidikan itu kan menanam karakter. Sejauh mana komitmen sekolah itu pada penanaman karakter pada anak. Itu yang pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar